Disini nggak ada yang kenal saya kan ya? pengen tetap anonim di dunia maya, jadinya lebih bebas berekspresi, namun tidak melangggar norma-norma agama dan sosial.
Hanya ingin bercerita tentang sebuah kisah. Kisah dari seorang sahabat yang dekat denganku. Setidaknya aku juga belajar dari kisahnya.
Sahabatku adalah seorang akhwat pemula. Pemula disini bisa diartikan masa tarbiyah yang belum terlalu lama-sekitar 3 tahun- (atau mungkin tergolong lama, ya?), atau juga bisa diartikan dengan imannya yang masih naik turun. pembelajaran yang masih harus selalu dilakukannya untuk menjadi yang terbaik.
Sebut saja namanya Fara.
Fara menyadari bahwa ia sudah membuat Allah murka, dengan selalu berbuat maksiat. Ia tahu bahwa yang selama 11 tahun ia lakukan ini adalah dosa besar, namun ia selalu kembali pada dosa tersebut. Walaupun ia telah membaca dan memahami 22 Akibat dari Maksiat, namun semua bagaikan selingan bacaan baginya. Memang ia sempat menangis ketika mengetahui banyakn,ya keburukan yang ditimbulkan dari maksiat yang selalu dilakukannya (bahkan saat itu ia sudah tarbiyah), namun semua tangis segera mengering. Tak berbekas. Bahkan hatinya lebih cepat kering daripada pipinya.
Ketika berdiskusi dengan saudari-saudarinya di Arisan Suci yang telah ia hadiri selama kurang lebih 3 tahun, ia menemukan sebuah hadist,
Allah marah. Allah marah pada hambaNya yang melakukan apa yang diharamkanNya
Ia terdiam. Lalu menyerahkan buku yang menjadi bahan diskusi mereka pada teman disebelahnya.
“Aku tidak sanggup melanjutkannya,”
Sungguh ia merasa tertohok. Ia merasa hadist tersebut ditujukan pada dirinya. Dirinya yang hina, dirinya yang berlumur dosa…
Hingga akhirnya ia berniat, ia benar-benar akan berubah. Ia tidak ingin Allah marah lagi padanya. Ia berniat ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Ia ingin semua kemunafikan yang ia sembunyikan menjadi hilang, seiring dengan istighfar-istighfar dan perbuatan yang diniatkannya untuk menghilangkan akibat buruk dosa-dosanya selama ini. Aamiin…begitu pintanya.
Ia telah berniat untuk jadi baik.
Namun sebagaimana ayat dalam Al Quran yang menyatakan, kita belum dikatakan beriman sebelum kita diuji. Dan aku yakin, yang selanjutnya terjadi pada Fara adalah bentuk ujian tersebut, meski dalam wujud yang tidak ia duga sebelumnya.
Selama setahun ini, Fara mengagumi seorang ikhwan. Hanya sebatas kagum, tidak lebih. Tidak sampai mengkhayalkan sesuatu yang belum pasti terjadi. Hanya kagum, itu saja. Pada dasarnya Fara adalah seorang perempuan pemalu. Ia tidak biasa bergaul dengan laki-laki, selain ayah dan tiga adik laki-lakinya. Namun untuk sekedar berteman, ia cukup pandai menyesuaikan diri. Bisa membaur, namun tidak sampai mencair.
Pada ikhwan ini pun, ia tidak berani menyapa jika mereka bertemu. Terkadang mereka berpapasan, lalu tak sengaja ia bertatapan dengan ikhwan tersebut, lalu menundukkan pandangannya, atau berpura-pura memainkan handphonenya. Intinya ia tak berani dan segan untuk sekedar menyapa. Ikhwan tersebutpun sama, ia tak pernah menyapa Fara jika mereka bertemu. Hanya sekali, itupun saat Fara sedang mengobrol dengan saudarinya. Mereka berpapasan di lorong yang menghubungkan perpustakaan kampus
UI dengan mushalla Fakultasnya. Awalnya Fara dan saudarinya hanya menatap sebentar pada ikhwan tersebut, tanpa senyum. Ikhwan itu pun hanya diam. Namun kemudian ikhwan tersebut berkata sesuatu yang membuat 2 perempuan tersebut membalikkan badannya
“Nggak ikut rapat nanti?”
Fara hanya menggeleng sambil tersenyum standar,senyum kaku akibat grogi. Sedangkan saudarinya bisa berkata lancar, “kita udah ada agenda lain sebelumnya…”
Mereka bertiga memang berada dalam satu organisasi.
Hanya itu. Hanya seperti itulah percakapan yang pernah terjadi diantara mereka, itupun bukan dialog.
Sekarang, Fara dihadapkan pada fakta rumit. Ia kembali satu kepanitiaan dengan ikhwan yang dikaguminya, Namun ada yang lebih rumit lagi. Di saat ia berusaha untuk memperbaiki diri, termasuk misinya yang paling besar adalah dalam hal menjaga hati, ia akan didekatkan kembali dengan ikhwan tersebut.
Karena ternyata ikhwan tersebut adalah ketua divisi bagian kepanitiaan yang ia ikuti, dan mereka mau tak mau akan berkoordinasi secara intensif dalam kepanitiaan ini.
bersambung…
pheew…rempong juga pake bahasa kaku, hehe…cerita diatas based on true story sih, tapi mungkin akan dibahasakan seperti novel. Ugh…ingin nulis, tapi tak sekaku ini.
sekali-sekali ga papa lah ya…semoga nanti hikmahnya sampai di hati para pembaca..=)